Memakna Ramadhan (Menyimak Kicau Merajut Makna Series)
Kehidupan adalah “puasa” dari yang diharamkanNya. Jika di
Ramadhan begitu takut kumuran merasuk; sehati-hati itukah kita pada subhat
dunia? Andai Ramadhan itu SISTEM; INPUTnya iman, PROSESnya puasa, dan OUTPUTnya
takwa. Jika berpuluh ia lewat dan takwa belum tergapai, apa yang eror? Bisa
jadi galat ada dalam PROSESnya; maka mari benahi puasa kita. Tapi jangan-jangan
INPUT kita lebih tak beres; iman itu perlu diharukan.
Ada dua kebahagiaan bagi ahli puasa; kala kini berbuka dan
kelak saat Allah ulurkan pahala. Keduanya berasas percaya dan tulus berharap
ridhaNya. “Yang paling kusesali,” ujar Ibn Umar, “siang panas tanpa sejuknya
puasa; malam dingin tanpa hangatnya tahajud.” Lalu kita pun malu. Betapa syahdu
penantian raga yang berpuasa tuk berbuka; lebih jelita lagi penantian hati yang
beriman tuk berjumpa Allah di surga.
Dalam Ramadhan, kulihat para pahlawan kehausan; tapi dahaga
mereka hanya akan tersembuhkan oleh surga. Melestarikan Ramadhan; semangat
berinfak yang lebih besar dari pada gairah berbelanja; semangat beribadah yang
tak dikalahkan gairah berhura. Selamat merenda takwa Shalihin-Shalihat.
Sepertiga gelas jamuan Ramadhan telah kita reguk. Adakah
takwa telah tercium aromanya? Ataukah lapar dahaga tersia dimakan dosa? Sejauh
apa Ramadhan yang tinggal secuil ini membawa kita mendekat pada Allah, berakrab
dengan Kitab, merapat pada Nabi, meraih gelar takwa?
Komentar
Posting Komentar