Kemuliaan Sang Pentaubat
Di kalangan Bani
Israil ada seorang pendosa, khasanah kemaksiatannya sebilangan pasir di gurun,
melimpah bertimbun-timbun. Tetapi hidayah Allah menyapa, dia disergap takut
oleh dosa-dosa. Semua khilaf menghantui kala sepi, mencekamkan malu saat ramai.
Maka dengan cemas hati dia melarikan diri ke negeri jauh, mencoba menghapus jejak kenangan atas
segala kesalahan di kotanya.
Diarungi padang
pasir yang menyengatkan terik, batu dan kerikil serasa menyala, dan matahari
sama sekali tak bercadarkan jiwa. Dalam langkah-langkah yang menyiksa tubuh dan
memayahkan jiwa itu, dia berjumpa kawan perjalanan. Dan hebat, beliau seorang
Nabi. Menghadapi cuaca yang demikian berat, sang Nabi berkata pada si pendosa,
“Mari berdoa, agar Allah memayungkan awan di perjalanan!” Memerah muka sang
pendosa, takut-takut ia berkata, “Demi Allah, aku malu meminta hal itu, aku
merasa tak layak berdoa kepadaNya.”
Sang Bani Israil
itu tersenyum, “Baiklah aku yang berdoa. Kau cukup yang mengaminkan saja!” Tak
lama, awan menaungkan bayang-bayang. Lalu tibalah di persimpangan, tujuan
berbeda haruskan mereka berpisah arah. Maka setelah salam, masing-masing
menempuh jalannya. Alangkah terkejut Nabi itu ketika mendapati awan ynag
menaungi selama perjalannan mereka berdua kini tak lagi bersama dirinya. Yang
menakjubkan, ternyata awan itu tetap menaungi laki-laki yang tadi bersamanya.
Bergegas Bani itu berbalik dan menghampirinya.
“Saudara!Tunggu!
Kau bilang tadi tak punya keutamaan apa pun, bahkan berdoa pun merasa tak
layak, tapi awan itu malah mengikutimu!”
“Katakan padaku,
“ desaknya, “apa yang menjadi rahasia kemuliaanmu di sisi Allah sehingga justru
ucapan amin-mu yang dikabulkan! Lelaki itu kebingungan. “Apa? Aku tak tahu
duhai Nabi Allah….Aku tak tahu…Aku hanya pendosa nista yang lari dari masa
lalu. Aku ahli maksiat yang hina, dan kini begitu haus akan ampunan
Rabbku!”ujarnya.
“Inilah dia!
Itulah dia!” sahut sang Nabi. “Sungguh benar, di sisi Allah, kemuliaan seorang
yang bertaubat bisa mengungguli keutamaan seorang Nabi seperti aku,”pungkasnya.
Dalam buku Kicau Merajut Makna
Komentar
Posting Komentar