Cemburu - Part 2
Seminggu lebih aku tidak berinteraksi dengan Ita bahkan Hafid. Mungkin memang butuh waktu bagi kami bertiga untuk berfikir. Kebetulan seminggu kemudian ada ujian semester, awalnya aku enggan mengajak mereka belajar bersama kembali. Namun, Ita menghubungiku dan memintaku untuk datang belajar bersama di kosnya. Untunglah waktu itu emosiku sudah agak stabil. Aku pun menerima ajakan Ita. Setibanya di kos Ita, ternyata Hafid sudah berada disana, dan aku pun sengaja datang telat.
Tanpa rasa bersalah Hafid langsung nyamber, "Eh Zi, tadi malem aku nemuin buku bagus di Gramed lho". Aku akhirnya menjawab karena penasaran, "Buku apa?". Langsung dia jawab, " Itu bukunya mbak Asma yang terbaru, aku denger kamu lagi pengen bukunya, iya kan?". "Lho kata sapa km?, tanyaku pada Hafid. Dengan nada enteng dia pun bilang bahwa Ita yang memberi tahukannya. Sontak aku jadi panas kembali, tapi kucoba tetap sabar menghadapi mereka. Aku harus tetap dingin menghadapi situasi ini. Ita pun sepertinya agak tak menduga kalau Hafid akan seberani itu bilang padaku, raut muka Ita sangat cemas. Kami pun akhirnya mulai belajar. Setelah kurang lebih dua jam kami membahas soal-soal, aku pun langsung pamit pada mereka. Memang saat itu badanku agak tidak enak, dan mereka menyadarinya. Akhirnya, dengan sigap Hafid menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang. Dia khawatir kalau terjadi sesuatu padaku mengingat aku harus naik bus dengan waktu yang lama. "Aku antar saja ya Zi?", ajaknya. Aku sempat menolak, namun tubuhku rasanya sudah pasrah dan menyanggupi permintaan Hafid. Akhirnya aku membonceng Hafid. Dijalan aku lebih banyak diam karena badanku begitu lemas, aku ingin cepat sampai dan tidur.
"Kamu sakit apa Zi?", tanya Hafid. Aku pun diam saat itu. Hampir tiga kali dia menanyaiku namun saking pusingnya aku tak mendengar jelas suranya, pandanganku juga sudah mulai kabur. Dan untungnya aku sudah di daerah kecamatan dekat dengan rumahku. Tiba-tiba Hafid menghentikan motornya, kami menepi. "Zi?kamu nggak papa?", tanyanya. Aku pun menjawab dengan pasrah, "Nggak papa kog Fid, lanjutkan saja jalannya kan hampir sampai". Akhirnya dia langsung jalan dan berjalan agak cepat namun tetap memperhatikanku dari spionnya.
Lima menit kemudian, kami pun sampai dirumah. Dirumah sudah ada Ibu yang menunggu ku karena sebelumnya aku sudah memberikan kabar bahwa aku pulang diantar Hafid. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju kamar, rasanya sudah benar-benar ingin membaringkan tubuh ini di kasur. Melihat aku, Ibu dan Hafid langsung panik. Setelah itu aku tak tau apa yang terjadi.
Keesokan harinya aku tersadar, namun kenapa dinding-dindingku berwarna putih. Berbeda dengan dinding kamarku yang berwarna peach. Aku memandang seluruh ruangan dan akhirnya mengerti bahwa aku sudah berada di rumah sakit. Aku pun tak tahu di rumah sakit apa? Saat itu aku menengok di arah kiri ku, dan ternyata ada seorang laki-laki yang tertidur dengan posisi tidak nyaman di sofa, Ia Hafid. Aku mencari-cari suara Ibu atau keluargaku yang lain namun, tak juga ku temukan. Selama sepuluh menit aku masih terdiam dan memandangi seluruh ruangan, akhirnya Hafid terbangun dan langsung beranjak dari tidurnya untuk mendekati ku. Dengan senangnya ia duduk di kursi sebelah kasur ku, "Zi, alhamdulillah kamu sudah siuman". Aku hanya bisa tersenyum. Lalu aku menanyakan dimana sanak keluargaku. Kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang menemaniku. Namun dengan nada menghibur Hafid menjelaskan bahwa mereka sedang menemui dokter. Saat itu pun aku langsung berpikir tentang kondisiku, kenapa semuanya harus menemui dokter?apa penyakitku parah?
Komentar
Posting Komentar