Cemburu - Part 1





Aku cemburu,
Ya aku cemburu saat kau menuliskan pesan-pesan itu di dinding FB nya. Memang, setelah kami lulus SMA aku memutuskan untuk mengurangi interaksi dan komunikasiku dengannya. Hafid nama panggilannya disekolah, namun kadang ia dipanggil Afi jika dirumah. Semasa SMA kami berada dalam satu kelas. Dia adalah siswa terpandai dikelasku. Sedangkan aku, aku Alhamdulillah masuk kedalam sepuluh besar, namun tidak sanggup untuk menandinginya dalam kelas.

Didalam kelas kami, aku, Hafid, dan Ita adalah teman dekat. Bisa dibilang kami akrab, keakraban itu bermula dari seringnya belajar bersama seusai sekolah. Aku yang berasal dari luar kota, Hafid yang rumahnya di kota tempat sekolah berada, dan Ita yang ngekos di dekat sekolahan. Kami bertiga sering belajar bersama usai sekolah, kalau sedang ada ekstra, kami belajar di sekolah. Namun saat kami free, biasanya kami bertiga bertandang di kos Ita. Seperti kos kebanyakan, tamu laki-laki dilarang untuk masuk kamar, kebetulan ada ruang tamu di kos itu. Ketika tak ada tamu lain, kami biasanya memakainya. Namun saat banyak tamu, akhirnya kami mengalah untuk belajar disekolah, yang letaknya tidak terlalu jauh dari kos Ita. Sebagai orang yang paling pintar, Hafid bukanlah orang yang sombong, ia dengan telaten mengajari aku dan Ita yang notabene kesulitan dalam hal menghitung. Ibarat kereta, dia mungkin argo bromo. Sedangkan aku dan Ita seperti pandan wangi yang jalannya sekitar 3 jam dari Solo-Semarang. He..he…

Setiap minggu membuat jadwal belajar. Setiap minggu kami membuat jadwal untuk belajar bersama, karena kami juga memiliki kegiatan yang berbeda beda. Aku yang ikut ekstra Rohis dan Pramuka, Hafid ikut remaja pecinta alam, dan Ita ikut ekstra keilmiahan. Biasanya kami belajar bersama selama dua kali seminggu. Materi yang kami bahas pun bermacam-macam, tergantung dengan tingkat ketidak pahaman kami. Dan biasanya yang paling parah adalah aku. Ita dan Hafid orang yang cepat menangkap walaupun mereka jarang mencatat, sedangkan aku senang sekali mencatat namun jarang pula ku buka lagi.

Biasanya catatan sangat berguna saat kita mau ujian. Oleh karena itu, selama belajar bersama kami saling share dari pemahaman masing-masing. Dan jadi wajib hukumnya bagi yang telah paham untuk menerangkan kembali pada kami. Setelah itu kami berdiskusi, biasanya kami berbagi soal, baik dari buku ataupun dari hasil pemahaman kami. Setelah tiga tahun kebersamaan kami, kami pun sudah paham dengan karakter masing-masing. Tidak ada ruang malu bagi kami, rasanya sudah bisa saja dengan apapun kebiasaan kami. Meski kadang ada yang complaint, namun bagaimanapun juga sudah kami pahami dan terima konsekuensinya.

Suatu ketika, Pak Anwar guru Agama Islam kami tidak hadir. “Yee…” serempak suara teman-teman sekelas kami. Senang rasanya satu hari itu ada jadwal yang kosong. Walaupun Pak Anwar termasuk guru favorit kami. Tapi mengingat hari itu ada tiga mata pelajaran yang diujikan kami semua merasa sedikit terbantu dengan jam kosong. Pak Anwar memberikan kami tugas untuk membuat ringkasan sejarah Rasululloh Muhammad SAW. Beliau meminta kami mengerjakan di perpus agar mudah mendapatkan referensi, dalam perintahnya.


Walaupun kami bertiga sering belajar bersama di luar kelas dan akrab, namun kami tetap membaur dengan teman-teman yang lain. Hafid tetap bergaul dengan teman-teman laki-laki yang lain. Aku dan Ita pun terpisah kelompok. Kami juga tak mau dianggap terlalu ekslusif oleh teman-teman, yang terus menempel di manapun ber3. Kami tetap menjadi pribadi masing-masing.

Karena merasa belum lengkap, akupun mencari berbagai referensi yang dapat nmenambah ringkasanku di rak-rak kaca yang terletak dipinggir-pinggir ruangan. Saat aku asyik menelusuri kode buku yang aku cari, tiba-tiba Hafid menghampiriku. Dia mendekatiku dan terdiam sambil memandangiku, aku pun memandangnya denagn aneh. Kemudian dia berkata,” Zi, aku suka kamu!”. Aku pun terperanjat kaget, dalam benaku aku bertanya ada gerangan apa dengan Hafid bisa berkata seperti itu. Dan diapun mengulangi ucapannya itu lagi. Aku segera meninggalkannya tanpa jawaban dan segera berkumpul dengan teman sekelompok. Mungkin mukaku agak aneh setelah itu, aku sangat binggung dengan sikap Hafid yang seperti itu.

Setelah tugas kami selesai dan bunyi bel tanda pelajaran Agama berakhir, aku bersama teman-teman yang lain meninggalkan perpustakaan. Sesampainya dikelas, aku sudah mendapati Hafid duduk terdiam dibangkunya. Setelah itu kami pun melanjutkan pelajaran Biologi yang kebetulan ujian.

Dua jam pelajaran kami mengerjakan ujian itu. Setelah Bu Rohma menutup pelajaran dengan doa, kami satu-persatu meninggalkan ruangan. Dan waktu itu Hafid terus memandang ke arahku. Dan aku pun mengalihkan pandanganku dan segera mengajak Lita, teman sebangkuku untuk pulang. Aku tak tau apa yang sedang terjadi waktu itu, kenapa Hafid melakukan hal bodoh seperti itu. Tanpa pikir macam-macam aku pulang ke rumah.

Pagi harinya ada telefon dari Hafid, dia menjelaskan bahwa dia menyukaiku. Seketika itu aku pun menasihatinya tentang perilaku yang dia lakukan itu telah membuat aku sedikit menyesal. “Fid, kamu tau kan aku uda nganggep kamu itu sahabatku, tapi kenapa kamu lakuin ini?”, tanyaku. Dia pun terdiam dan kemudian menjawab, “Aku juga nggak tau, tapi aku suka kamu Zi”. Tanpa piker panjang aku langsung menegaskan, “Sudahlah kamu pikirkan apa yang kamu omongin itu!” tanpa salam aku pun menutup telefon darinya. Setelah itu, aku binggung dan satu-satunya orang yang bisa kupercayai untuk masalah seperti ini adalah Ita. Aku segera menelfonnya dan menajelaskan cerita kami dari A hingga Z. Akhirnya Ita, memberikan saran padaku. Dia memberikan penjelasan tentang segala kemungkinan itu dan mempertimbangkan baik-baik ucapan Hafid. ”Tapi Ta, kita kan sahabatan, kenapa dia sampai tega begini terhadapku?”. Ita pun berbalik tanya, “Ya sudah, kalau kamu nggak menganggap ini masalah besar, biarkan saja kamu tahu perasaannya. Lagian dia juga nggak macem-macem kan Zi?”. Aku pun merenung, terdiam dikamar setelah menutup telefon.

Seminggu berselang, aku, Ita, dan Hafid tidak belajar bersama seperti dulu. Mungkin hanya aku yang absen, terus terang aku masih merasa terhianati. Kenapa persahabatan yang aku hargai justru dinodai dengan kisah seperti ini, keegoisan seseorang.

Selama itu, mungkin aku terlihat aneh oleh teman-teman. Aku pun nampak lebih diam saat itu. Sesekali tertawa dengan teman yang duduk didepanku karena kekonyolannya. Setelah pulang sekolah, tepatnya hari sabtu aku yang sedang menunggu jemputan duduk di teras depan sekolah. Tiba-tiba Reni menghampiriku dan bertanya dengan nada bisik-bisik, “Aku dengar Hafid nembak kamu ya?”. Seketika aku langsung kaget dan bertanya dari mana dia mendapatkan berita itu. Dan aku pun bertanya, “Kamu tau dari siapa Ren?”. Dengan tertawa dia menjawab, “Loh kan semua anak sekelas uda pada tau Zi”. Aku langsung terdiam dan kami pun mengakhiri pembicaraan karena aku tlah dijemput.

Hari seninnya, aku dapati bahwa teman-teman sekelas memandangku dengan pandangan aneh, dan Lita teman sebangkuku pun akhirnya menanyakan kejelasan masalah itu padaku. “Bener Zi?” tanya Lita. “Memang kamu kata siapa?”. ”Tadi pagi sudah pada rebut anak-anak di kelas ini”, jawabnya. Sepulang sekolah Ita dan aku pulang bersama karena aku kebetulan tidak dijemput. Dalam perjalanan menuju halte, tempat aku menunggu bus pulang, dia menceritakan semua kepadaku. Ternyata sudah sejak lama Hafid bertanya perihal diriku dengan Ita, dia pun menceritakan perasaannya terhadapku dengan Ita. “Astaughfirulloh, kenapa kamu nggak bilang dari dulu Ta?”. Seketika itu aku langsung naik bus menuju rumah, dalam perjalanan mataku berkaca-kaca. Ingin rasanya berteriak, karena mereka, Hafid dan Ita, orang yang telah aku percayai menghianati kepercayaannku kepada mereka. Sungguh rasa tidak terima yang ada. Aku hanya bisa berdoa dan terus beristigfar kepadaNya.

Sepulangnya dirumah, ada yang menelfon aku, dan ternyata dari Hafid. Aku terus mencari alasan agar tak bisa menerima telefon itu. Sesekali ia mengirimkan sms, tapi tak ku balas. Seharian aku mengurung diri sepulang dari sekolah hingga pagi, berkecamuk rasanya, ada rasa marah karena penghianatan dan kebodohan yang mereka perbuat hingga aku jatuh seperti ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernikahan dan Tradisinya di Pekalongan

Mengajarkan Simple Past Tense Dengan Game

Report Text