Cinta Zahra


Di dalam kamar pengantin, mereka saling bergantian menyimak satu persatu hafalan surat di Al-Qur’an yang mereka punya setelah sebelumnya mereka sholat sunnah dua rakaat. Dengan berlimang air mata tanda bahagia dan tanda syukur pada Allah Ta’ala yang telah menyempurnakan dien mereka, yang mempertemukan dua jiwa yang memang sudah Dia tetapkan di lauful mahfudz.
Disisi lain, di luar kamar, aku dan teman-teman, serta beberapa tamu menunggu kedua mempelai keluar dari singgasananya. Sesekali kami mendengar suara lantunan ayat suci  yang ada di balik dinding kamar. Kami setia menunggu sampai mereka keluar dan melanjutkan cengkrama bersama.

“BARAKALLAHU LAKA WA BARAKA 'ALAIKA WA JAMA'A BAINAKUMA FIKHAIR”

Rasa syukur yang tiada henti dipanjatkan kedua mempelai setelah sebelumnya akad nikah telah diperlangsungkan, tengadah tangan-tangan para tamu undangan untuk mengharap ridho dan barakah atas pernikahan Zahra dan Hanif turut serta membuatku terus berseru atas kebesaranNya. Baru kali ini kuhadiri prosesi akad yang begitu kidmat. Yang tertancap dan teringat adalah satu bacaan “Fabiayyi ‘ala irabbikuma tukaddiban”. Subhanallah, sungguh…”Nikmat Tuhanmu yang manakah yang Engkau dustakan?”. Bergetar rasanya meresapi makna yang terkandung dalam satu ayat itu apalagi mendengarkan dengan jelas bacaan penuh dari surat Ar-Rahman.  Iya, sebagai maharnya, sang mempelai putri meminta dibacakan hafalan surat Ar-Rahman. Dari awal pembacaan Al-Fatihah, para tamu khususnya pihak keluarga dari kedua mempelai mulai bercucuran air mata, termasuk neneknya.
Dalam masyarakat kami, ketika prosesi akad nikah berlangsung, mempelai putri berada di kamar pengantin didampingi sanak family. Dan sebuah kebanggaan juga buatku bisa berada didalamnya untuk menyaksikan langsung keadaan di dalam kamar. Pak penghulu yang mendapat amanah untuk mewalikan Zahra memulai akad, kemudian Hanif membaca hafalan surat Ar-Rahman. Dengan memakai micropohon, suara di ruang tamu bisa terdengar dengan jelas sampai dikamar pengantin, tempat mempelai putri berada. Zahra mendengarkan dengan khusyuk dan juga mengikuti bacaan yang sedang dilafalkan. Linangan air mata dari Hanif turut menjadikan tamu yang hadir terharu dan juga menangis karena kebesaranNya. Sungguh bahagianya ibunda Zahra, anak satu-satunya dikhitbah dengan cara yang sangat indah. Wajah Ibu-ibu yang hadir disana pun nampak iri dan bangga. Para bapak menyaksikan dengan seksama, dan sang penghulu menyimak Al-Qur’an untuk menjaga bacaannya.
Kisah ini berawal dari masjid Nurul Huda, masjid yang tidak jauh dari kantor Zahra. Zahra bekerja di sebuah LSM di kota Pekalongan. Setiap senin sampai jum’at mulai pukul 8.00 pagi sampai 4.00 sore ia bekerja dengan penuh semangat dengan azam yang kuat tuk berikhtiar melanjutkan hidupnya dan demi cita-citanya. Walau kegiatan di kantor yang begitu padat namun tidak menjadikan halangan baginya tuk terus bermunajat. Dhuha di sela-sela pekerjaannya dan sholat jama’ah yang selalu dijalankan tak pelak memberikan efek religius di kantornya. Rekan-rekan kantor yang semuanya adalah muslim perlahan membiasakan diri dengan kebiasaan Zahra. Jalan dakwah Zahra ternyata diberi kemudahan. Namun, ada beberapa godaan yang justru hadir dari rekan kerja lain jenis. Beberapa rekan ada yang sempat menggoda Zahra, tapi dengan sikap tegasnya itu, sontak menjadikan mereka mundur dan akhirnya menghargai Zahra sepenuhnya.
Selama sebulan lebih, rekan-rekannya melakukan proyek di lapangan. Zahra berdua dengan rekannya Sheila bertugas di kantor. Suatu ketika saat Sheila berhalangan tuk sholat, Zahra memutuskan tuk mengikuti sholat berjamaah di masjid Nurul Huda. Ini adalah pertemuan pertama antara Zahra dan Hanif. Zahra dengan langkah kaki yang cepat melaju lurus menuju tempat wudhu karena ia paham bahwa di depan masjid pastilah bergerombol pekerja laki-laki di yayasan tersebut. Sesekali ia memandang ke depan tuk bersapa dengan orang-orang yang ia kenal disana. Namun, selebihnya pandangannya tertunduk malu. Setelah wudhu, ia segera menunaikan sholat tahiyatul masjid. Sambil menanti qomat, dia saling sapa dengan ibu-ibu jamaah masjid. Hari itu adalah pertama kalinya ia sholat disana setelah lebaran. Bacaan qomat pun diserukan, para jamaah berdiri menyambut panggilanNya. Rakaat-demi raka’at dilaksanakan dengan penuh  khusyuk. Setelah salam, jamaah berdizikir dan berdoa. Saat Zahra melipat mukenanya, terdengar suara microphone “cek…cek…”. Suara asing yang baru ini ia dengar setelah kurang lebih 3 tahun mengenal masjid ini. Suara seorang ikhwan yang kemudian memberikan salam dan membuka pengajian. Zahra tak menyadari kalau hari itu adalah jadwal pengajian rutin. Sebelum pengajian berlanjut lebih jauh, ia berpamitan kepada ibu-ibu di majlis. Ia menyalami semua jamaah perempuan, sampai  di salaman terakhir barisan, sang ibu bertanya, “Lha mau kemana nduk?ga dengerin pengajian dulu?”. Ia pun dengan wajah agak malu menjawab, “Maaf bu, mungkin lain kali saja soalnya saya harus kembali ke kantor…”. Ibu dengan wajah berseri itu pun memaklumi Zahra, ia menambahkan “Iya ga apa-apa, tapi lain kali ikut ya nduk?”. Jawabnya dengan senyum tulus, “Inggih bu, insyaAllah”. Di depannya sudah tak ada lagi tirai yang menjadi hijab jama’ah perempuan dan laki-laki. Hanif sempat melihat Zahra saat berpamitan dengan ibundanya.
Ibu yang perhatian itu ternyata adalah ibunda Hanif, Hanif adalah anak dari pemilik yayasan yang baru lulus dari S2 Managemen di salah satu universitas di ibukota. Sudah lama ibunda Hanif itu memperhatikan Zahra yang sering berjamaah di masjid Nurul Huda. Ia juga berharap bisa mempertemukan Hanif dengan Zahra, barangkali saja ada kecocokan diantara mereka berdua.  
Pertemuan kedua pun terjadi ketika Ayahanda Hanif meminta Hanif mengurus perihal kerja sama yayasan dengan LSM dimana Zahra bekerja. Hanif pun datang ke kantor tersebut. Saat Hanif bertandang ke kantor, Zahra dan karyawan lain beserta atasannya masih sholat berjamaah. Hanif menunggu pimpinan di lobi, yang tepat berada di depan mushalla. Tak sengaja ia melihat sosok Zahra yang menjadi makmum wanita sendiri, mengingat hanya ada dua wanita dikantor itu. Ia mengamati gerakan Zahra saat sholat. “Astaughfirullah…” sambil terus beristighfar, Hanif berdiri dan memalingkan muka ke sisi yang lain. Taka lama setelah itu, Pak Anwar sang pimpinan keluar dari mushalla. Mereka bertemu dan berbincang membicarakan proyek tersebut. Setelah hampir satu jam, ia meninggalkan ruangan Pak Anwar. Saat Zahra berdiri merapikan meja receptionist, ia menemukan dua buku di tas plastik putih. Saat berada di depan meja receptionist, ia menanyakan keberadaan bukunya yang tadi ia tinggalkan di meja itu. “Oh iya mas, ini bukunya”. Ucap Zahra sambil tersenyum.  Sambil menerima buku dari Zahra, Hanif segera minta maaf dan tersenyum malu. Ia takut, Zahra membaca judul buku yang dibawanya.
Setibanya di rumah, ia kembali teledor meletakkan buku yang dibawanya. Ibunda Hanif yang setiap sore membersihkan rumah, mendapati dua buku itu di ruang keluarga. Ibunya yang juga mempunyai hobi membaca, serta merta mengeluarkan dua buku itu dari tas. Ibu tersenyum, dan berazam dalam hati tuk segera membicarakan apa yang menjadi keinginannya pada putra bungsunya itu.
Setelah magrib, merupakan kebiasaan keluarga Hanif tuk mengaji bersama. Setelah selesai, Ibunda membuka pembicaraan dan langsung menanyakan maksud ibu kepada hanif. Dengan senyum penuh malu, Hanif memberikan pendapatnya. Satu persatu kakak Hanif memberikan pertimbangan dan nasihat, serta Ayah Hanif mempersilakan kepadanya tuk mengambil keputusan. Hanif pun bersedia untuk segera menikah dan setuju dengan calon yang telah dipilihkan ibundanya itu. Mereka kemudian merencanakan hari dan persiapan untuk datang ke rumah Zahra.
Pertemuan ketiga pun terjadi, setelah sebelumnya pihak keluarga Hanif meminta data diri Zahra kepada pihak kantor. Hanif meminta ijin kepada Zahra perihal keinginannya. Dan dengan penerimaan yang baik, Zahra pun mempersilakan Hanif untuk bertemu langsung dengan keluarganya. Hari itu hari minggu, semua keluarga Hanif datang menemaninya untuk menyampaikan maksud baik itu, menjalankan sunnah Rasulullah Saw. Setelah perkenalan kedua belah pihak. Akhirnya orang tua Zahra menyerahkan keputusan pada anak sulungnya itu. Zahra yang memang sebelumnya, dalam setiap sujudnya meminta untuk disegerakan jodohnya, waktu itu dengan kemantapan hati dan niat beribadah semata-mata karena Allah, akhirnya ia menyetujui dan menerima pinangan dari Hanif. Ia berbaik sangka bahwa Hanif adalah calon ayah yang baik untuk anak-anaknya kelak. Dan semoga Hanif bisa menjadi jodoh di dunia dan akhirat kelak yang terus membawa kebaikan sampai keturunannya. Dalam pertemuan itu, Zahra meminta mahar emas dan hafalan surat Ar-Rahman. Dengan menyadari kebesaran Allah, Hanif pun menyetujui dan menerima syarat tersebut. Hari, tanggal pun mereka susun. Kedua belah pihak sama-sama menginginkan akad nikah jangan terlalu lama. Dua bulan adalah waktu yang dipilih oleh kedua keluarga tuk mempersiapkan semuanya.
Selama persiapan menikah, mereka tidak saling bertemu. Komunikasi pun hanya sebatas sms, hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga diri keduanya. Karena sejatinya, Allah Maha Mengetahui segala hal. Keterikatan itu akan sah ketika akad sudah ditunaikan. Cintai Allah sepenuhnya, maka Allah pun memberikan cintaNya yang tak terbatas.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernikahan dan Tradisinya di Pekalongan

Mengajarkan Simple Past Tense Dengan Game

Report Text