Jalan Hidayah (Part !)

"Kalau dulu aku memilih pilihan hidup yang salah, kali ini aku tak mau salah lagi untuk berbahagia dengan anak dan suamiku."


"Allah,
aku tau dosaku amatlah besar padaMu,
pada kedua orang tua ku, namun kini aku hanya memohon kebahagiaanku,
orang tuaku dan keluargaku seutuhnya.
Kumpulkanlah kami lagi di surgaMu ya Rabb..."

Doaku di penghujung malam Idul Fitri, aku benar-benar ingin bersih seperti bayi yang baru lahir yang terus menabur kebaikan di bumi ini.

Empat tahun silam, bagaikan mimpi buruk buatku. Saat kudapati diriku sakit tak berdaya di salah satu sel rumah sakit. Aku terdiagnosis demam berdarah dan juga typus. Kabar yang sampai membuat Ibuku datang dari tempat rantaunya. Dan yang paling membuatnya pilu adalah ketika beliau sendiri mendapati diriku yang tak suci lagi. Bagai makan buah simalakama, dan tersambar petir disiang bolong. Ibuku pingsan tak berdaya, air matanya tumbah tak terbendung lagi di depan dokter dan keluarga kami. 

Aku yang masih terurai lemah di kasur rumah sakit, menangis pilu dalam hati, rasanya tubuh ini rontok setulang-tulangnya. Melihat beberapa saudaraku yang mondar-mandir kebingungan atas masalah ini. Mungkin kalau aku dalam keadaan sehat, mereka akan menjadi juru interview yang akan secara detail menanyakan duduk perkara sebenarnya dan dengan sergap senjata siap menerka lawan. Sayangnya aku juga masih terbujur lemas dalam selimut yang tebal, sehingga membuatku terasa hangat di dinginnya ruangan ber AC. Tak bisa ku keluarkan air mataku, karena hatiku terlalu sakit karena melihat Ibuku yang begitu terpukul.

Di belahan tanah rantau sana, mungkin saja ayahku masih khawatir akan keadaanku, namun apakah Ibu akan langsung menceritakan hal ini pada ayah?aku juga tak terlalu memikirkan, yang terpenting sekarang adalah keadaan mental Ibuku. Aku sangat menyesal dan berdosa atas semua ini, hal yang tak pernah ku pukirkan sebelumnya. Namun nasi sudah menjadi bubur, aku tak tau harus bagaimana...namun setelah itu aku tak tersadar, mataku tiba-tiba gelap.

Tiga jam kemudian, saat kubuka mata, ternyata aku tadi pingsan dan sudah kudapati beberapa orang yang aka kenal termasuk Rony, laki-laki yang sekarang menjadi musuh Ibuku dan kan terus dibenci karena telah menghancurkan hidupnya dan hidup anaknya. Dalam suasana hening, Ibu memanggil namaku dengan isak tangisnya, tak kuat pecah menggemparkan ruangan kamar aku berada. 

Kuperhatikan malam itu suasana begitu suram, seolah tak akan ada kehidupan lagi esok hari. Ibu masih saja menangis di kursi menghadap tubuhku, dan aku terus menatap matanya sambil dalam hati meminta maaf. Sungguh aku tak sanggup untuk berbicara apalagi meminta maaf secara langsung kala itu, aku terlalu hina dan Ibuku juga terlalu terluka untuk aku mintai maaf.

Beberapa saat kemudian, Rony menghampiri Ibuku, ingin meminta maaf dengan menyalami tangannya, namun langsung ditolak oleh Ibuku.Sontak Ibu keluar kamar sambil menangis terisak....




continue...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernikahan dan Tradisinya di Pekalongan

Mengajarkan Simple Past Tense Dengan Game

Report Text