Kala Proposalku Harus Aku Rapikan Lagi (End)

"Belum, memang Faqih kenapa Ran, sudah lama kami lost contact?", sambungan percakapanku dengan Rani waktu itu. Disela-sela pekerjaanku, sms kembali masuk ke inboxku, "Faqih masuk rumah sakit Za, dia sakit hati. Aku dapat info dari teman sekantornya. Kalau kamu punya waktu, tolong jenguk Za dia uda di kota asal. Kasihan..". pinta Rani dalam smsnya. Aku pun hanya menjawab, "InsyaAllah Ran..terimakasih infonya ;)". Secara tidak langsung memang aku kaget, setahuku dia tak pernah sakit separah ini. Sudah lama sekali aku tidak terhubung dengan Faqih, seseorang yang dahulu pernah mengisi hidupku. Sejak kami mengakhiri ikatan tak resmi itu kami sudah sudah tak terhubung, mungkin juga karena kesibukan kami masing-masing. Aku juga sudah fokus dengan pekerjaanku dan belajar menata hidupku agar lebih baik.

Setelah pulang, aku beranikan diri untuk menghubunginya, dan menanyakan kebenaran informasi ini, dan ternyata benar. Mungkin Tuhan sudah mengatur ini semua, dan perasaan iba ku pun muncul dan rasanya aku tak ingin kejadian buruk yang tak aku inginkan terjadi. Aku beranikan diri untuk meminta ijin menjenguknya, dan ia pun mengijinkanku. Tak ada maksud apapun selain ingin melihat keadaannya, apalagi dia berada di kota yang sama bukan di Kalimantan. Kesempatanku untuk memberikan support padanya, meskipun aku juga ragu, apakah aku bisa mengendalikan perasaanku jika kami bertemu. Dalam hati terus ku bisikkan dan terus ku tanamkan bahwa niatku harus tulus untuk menjenguk dia yang sedang sakit, sebagai orang yang pernah dekat dengannya dulu, tentu aku juga bisa merasakan keadaan yang sama. Dan secara tak sengaja, beberapa hari sebelum aku mendapat informasi ini aku sempat bertemu dengannya dalam mimpi, tapi aku juga tak terlalu memperdulikan hal ini, mungkin hanya kebetulan saja.

Ternyata dia sudah berada dirumah, aku dan temanku akhirnya datang ke rumahnya. Sebelumnya aku sempat penasaran separah apa penyakitnya, mungkin saja tubuhnya terinfus. Ah...ekspektasiku berlebihan, dan waktu kami tiba dirumahnya, yang kudapati dia sudah bisa berjalan normal, alhamdulillah. Kami bertiga pun mengobrol panjang lebar. Entah kenapa aku juga tak tahu, namun yang kurasakan adalah tenang berada di sana. Namun di sisi lain aku bimbang, sebelum ini Yusuf memintaku untuk bersilaturrahmi ke keluarganya, namun aku merasa belum siap. Dan sekarang aku secara tiba-tiba bersilaturrahmi di rumah Faqih, mengenal keluarganya secara utuh. Dalam hatiku, aku hanya bersyukur, dan aku juga merasa bersalah pada Yusuf karena belum bisa memenuhi permintaannya.

Setelah pulang, aku terus berpikir keras tentang kelanjutan perkenalanku dengan Yusuf. Sedangkan sekarang hatiku mulai goyah, aku merasa iba dan tak mungkin melangkah lebih lanjut sementara kesehatan Faqih masih buruk dan dia sangat butuh support, termasuk dari ku. “Lahaula Wala Quwata Illa Billah Hil Aliyil ‘Azim.” Aku benar-benar menyerahkan jawaban yang terbaik pada Allah. 

Sebulan hampir berlalu dan aku belum juga memberikan jawabanku pada Yusuf. Beberapa kali aku mengkonsultasikan kondisiku pada mas Ali. Bahwa aku belum juga mantap, aku juga meminta nasihat dari sahabat dekatku. Kini aku lebih realistis, sementara dari komunikasi aku dan Yusuf, sepertinya masih disitu saja, dia tidak menampakkan arah kemantapan untuk bertemu orang tua ku. Hingga akhirnya aku terus merajuk, meminta yang terbaik dan diberikan jawaban atas semua kebingunganku ini. 

Aku pun meminta waktu pada Yusuf untuk memantapkan jawabanku. Kemudian atas saran mas Ali, kami pun akhirnya diminta untuk istikhoroh lagi. Apapun keputusannya harus diterima kedua belah pihak dengan legowo. Keesokan harinya, mas Ali menelepon ku dan dengan jujur aku harus mengatakan bahwa aku belum juga mantap, mungkin aku dan Yusuf lebih baik menjadi teman saja, tidak melanjutkan ta'aruf lebih dalam dan mas Ali pun menyetujuinya. Aku akhirnya menyampaikan keputusan ini pada Yusuf, dan aku berharap Yusuf juga bisa menerimanya, karena yang aku tahu dia terlalu berharap. Sedangkan hal ini membuatku tidak mantap. Seharusnya Allahlah tempat bergantung bukan pada makhluk. 

Setelah aku sampaikan keputusanku, Yusuf menerima keputusanku, namun dia sepertinya masih ingin melanjutkan lagi. Dan di saat itu perasaanku sudah tidak enak, tak nyaman lagi. Bukankah ketika keraguan itu datang, lebih baik kita tinggalkan? Memulai dengan sesuatu yang tidak kita sukai bukan lah pilihan yang tepat menurutku. 

Aku merasa berhutang budi pada temanku, Lia dan mas Ali sebagai fasilitator kami berdua. Namun, jalan ini tak bisa dipaksakan. Meskipun Allah sudah memberikan apa-apa yang aku inginkan namun ternyata hal itulah yang belum aku butuhkan. Mungkin ada rencanaNya yang lebih indah buatku dan Yusuf. Aku hanya berharap kami bisa menemukan pendamping hidup terbaik kami masing-masing. Bagaiman aku kan menerimanya dengan seutuhnya jika ternyata hatiku belum bersih?





*Terinspirasi dari kisah nyata, untuk temanku nan jauh disana...teruslah mengindahkan diri dihadapanNya, karna suatu saat akan tiba waktu itu, indah pada waktuNya ^^
Semoga ada banyak manfaat yang bisa kita dapat dari kisah ini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernikahan dan Tradisinya di Pekalongan

Mengajarkan Simple Past Tense Dengan Game

Report Text